Klub Haus Buku

16 Mei 2008

Ancaman Bahaya Disintegrasi

Filed under: Politik Nasional — opungregar @ 21:06
Tags:

Oleh Aminuddin Siregar\

Aristoteles, filosof politik terkemuka sepanjang sejarah yang orientasinya masih sangat berpengaruh hingga masa kini, tidak dapat dianggap sepele saja. Bahkan masih sangat relevan menggiring filosof politik klasik ini melihat kekinian kita. Dimana bangsa kita sedang ditimpa kemalangan dan masalah yang bertubi-tubi, dahsyat dan bahkan mencekam warga masyarakat di beberapa daerah.

Kita tentu saja sangat berharap, agar negara Republik Indonesia tercinta ini tetap menjadi negara kesatuan. Kita juga tidak menghendaki negara ini tercerai berai, robek dan tercabik-cabik, oleh misalnya, pemaksaan kehendak. Atau misalnya lagi oleh kasus-kasus terselubung yang selama ini terjadi, kini terungkap. Dan seterusnya gejolak yang mengemuka di beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Tetapi hendaknya diselesaikan secara damai.

Kita semua prihatin, siapapun saja, bila kerusuhan di beberapa daerah itu sebagai akibat dari kegagalan pemerintah Orde Baru hingga kepemerintahan di bawah kepemimpinan Prof. B. J. Habibie, yang melepas Timor-Timur, melalui jajak pendapat, yang kemudian dimenangkan kelompok pro kemerdekaan.hal ini pula yang menjadi salah satu pemici merebaknya tuntutan merdeka daerah lain. Lalu dengan segala suka cita dan kerelaan B.J. Habibie secara tulus untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden.

Kegagalan pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto selama 32 tahun, misalnya adalah kegagalan memainkan peran pemarintah untuk mengatur dan melaksanakan perannya menyediakan sarana, prasarana dan fasilitas yang sesuai dan secara merata berimbang antara pusat dan daerah. Peran lain adalah kegagalan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan keinginan warga masyarakat. Kemudian, yang menjadi pemici ialah kegagalan mengubah secara nyata sistem komando, yang dengan ini sering kali para warga hanya bisa tunduk, patuh dan membebek belaka.

Akibat sampingan dari semua itulah, daya saing kultural masyarakat menjadi semu dan kehilangan sifat dinamisnya. Bahwa masyarakat Indonesia secara keseluruhan seharusnya dapat berintegrasi dalam satu kesatuan negara yang berdaulat dan merdeka sepenuhnya aman, sejahtera dan damai.

Masalahnya sekarang, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi gejolak yang terjadi hingga masyarakat Indonesia tetap utuh dalam satu kesatuan wilayah yang bernama negara Republik Indonesia, apabila perilaku politil tidak lagi bersikap netral ? Bahwa ancaman bahaya disintegrasi yang kita hadapi kini, memang sangat krusial dari Sabang sampai Merauke.

Disintegrasi

Nampaknya, nasionalisme yang melambamgkan jadi diri bangsa Indonesia yang selama ini demikian kukuh, kini mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas persamaan digerogoti oleh ketidakadilan pengalokasian kekayaan yang tak berimbang antara pusat dan daerah selama ini.

Menurut Aristoteles, persoalan asas kesejahteraan yang terlalu diumbar, merupakan salah satu sebab ancaman disintegrasi bangsa. Di samping instabilitas yang diakibatkan oleh para pelaku politik yang tidak lagi bersikap netral.

Meskipun barangkali filosof politik klasik, Aristoteles dianggap usang. Namun bila dilihat dalam konteks kekinian kita, orientasinya tetap bisa dijadikan sebagai acuan. Paling tidak untuk melihat sebab-sebab munculnya ancaman disintegrasi bangsa.

Maka menyikapi berbagai kasus dan tuntutan yang mengemuka dari berbagai daerah sudah barang tentu diperlukan konsekuensi politik dan legitimasi. Bukan janji-janji sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan terhadap ucapan Presiden Gus Dur tentang Aceh misalnya. Dan tentu saja terhadap propinsi lain yang juga ingin merdeka.

Legitimasi diperlukan tidak saja untuk menjaga stabilitas tetapi juga menjamin adanya perubahan nyata dan konkrit yang dapat dirasakan langsung oleh warga terhadap tuntutan dan keinginan mereka. Namun, bagaimanapun juga kita tetap mesti berupaya agar tuntutan terhadap pemisahan diri dari kesatuan RI dapat diurungkan. Dalam hal ini diperlukan kejernihan pikiran, kelapangan dada, dan kerendahan hati untuk merenugkan kembali makna persatuan dan kesatuan, sekaligus menyikapi secara arif dan bijak terhadap berbagai kasus dari tuntutan berbagai daerah, Aceh khususnya.

Dialog Kemanusiaan

Kita memang sudah harus mengakhiri hal-hal ekstrim yang merugikan setiap individu manusia, kelompok dan golongan. Di era Indonesia baru ini, kembali perlu kita menindak nafsu-nafsu kekuasaan negatif kita dan membebaskan diri dari perilaku kekerasan. Menekan setiap jengkal kekejaman atas kemanusiaan. Karena itu kita perlu menciptakan identitas bersama. Tetap komit dan konsen terhadap reformasi.

Ketidakadilan, ketiadaan dialog kemanusiaan, dan kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang jumlahnya lebih banyak di negeri ini. Kesenjangan antara pusat dan daerah merupakan hal-hal yang tetap menjadi penyebab gagalnya untuk mengintegrasikan anggota masyarakat, yang ujung-ujungnya menimbulkan disintegrasi bangsa.

Aceh misalnya terus mendesak agar segera diadakan referandum. Rakyat Aceh seperti tak sabaran lagi untuk memproklamirkan Aceh Merdeka. Mereka merasa berkewajiban umtuk segera membebaskan rakyatnya dari berbagai macam persoalan yang mengungkungi mereka. Dan ketika ketua MPR Aien Rais meminta agar referendum tidak dilaksanakan tergesa-gesa, belum lama ini. Arti kata, rakyat Aceh harus bersabar menunggu sedikit waktu.

Namun demikian, hal yang mungkin sangat disesali oleh banyak kalangan, jika tidak merupakan hal yang krusial atau mungkin kontraversial ialah ultimatum yang disampaikan Presiden Gus Dur. Jika demikian, sulit untuk mengadakan dialog kemanusiaan. Ini pula barabgkali yang membuat rakyat Aceh mengapa kian mendesak dan tak sabaran menunggu keputusan Presiden. Siapa tahu ?

Kalau saja Aceh Merdeka, maka tidak tertutup kemungkinan, seperti dugaan banyak orang, akan diikuti oleh daerah-daerah lain, yang kelihatannya juga berambisi untuk memisahkan diri dan lepas dari ikatan nasionalisme Indonesia yang melambangkan identitas bersama dalam Bhinneke Tunggal Ika, yang walau berbeda tetapi bersatu, akan berakhir dan sirna begitu saja.

Dialog kemanusiaan tidak saja akan dapat menemukan jalan keluar terbaik, tetapi juga akan kita dapati informasi yang lebih pasti, keinginan sesungguhnya rakyat Aceh, sebab melalui dialog kemanusiaan, semua aspirasi akan lebih terakomodir. Kemudian diharapkan muncul perundingan yang menghasilkan kompromi menguntungkan pada semua pihak tanpa dibayangi oleh prasangaka dan curiga yang berlebihan. Mudah-mudahan saja.

Terbit di Harian Analisa, Medan

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.